Meski Indonesia punya UU Hak Cipta yang melarang pembajakan dan pembelian barang-barang ilegal seperti perangkat lunak (software) komputer, tapi nyatanya pembajakan tetap saja terjadi, dan produknya pun laris manis di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Sebut saja misalnya di pusat perbelanjaan Mangga Dua Mall, Jakarta, yang sejak lama dikenal sebagai `surga pembajakan software`, dari sejumlah gerai bisa didapatkan `software` bajakan dengan harga miring. Hal inilah yang membuat Indonesia disorot dunia sebagai negara pembajak `software` terkemuka.
Dari sisi ekonomi, data yang dilansir International Data Corporation (IDC) mengenai Global Software Piracy Study 2008, kerugian yang ditimbulkan kejahatan ini ternyata cukup mengejutkan.
Potensi pendapatan industri perangkat lunak (software) Indonesia pada 2008 yang hilang mencapai 544 juta dolar AS akibat maraknya pembajakan. Angka itu melonjak 31 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Adapun angka pembajakan hanya naik 1 persen menjadi 85 persen, dan menempatkan Indonesia di posisi ke-12 dari 110 negara.
Perwakilan Business Software Alliance (BSA) Indonesia Donny A Sheyoputra mengatakan kenaikan potensi kerugian dan angka pembajakan itu dipicu oleh naiknya pengiriman personal computer (PC) ke Indonesia yang mencapai 100 persen.
“Dari kenaikan tersebut, sekitar 48 persen PC dibeli oleh pribadi, sisanya dibeli oleh perusahaan,” ujarnya saat mengumumkan hasil studi tahun ke-6 International Data Corporation (IDC) mengenai Global Software Piracy Study 2008 di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dia menambahkan, di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik, nilai kerugian Indonesia masih lebih kecil dibandingkan China yang merugi 6,6 miliar dolar AS, India 2,7 miliar dolar, Jepang 1,4 miliar dolar, Korea Selatan 622 juta dolar), Australia 613 juta dolar, dan Thailand 609 juta dolar AS.
“Hasil studi IDC ini membuat kami harus bekerja lebih giat dan efektif, terutama kepada masyarakat agar menggunakan software berlisensi. Penegakan UU Hak Cipta juga harus terus ditingkatkan, meski secara kualitas upaya penegakan hukum pada 2008 lebih baik,” kata Donny.
Hasil studi IDC tidak akan mengubah fokus program BSA di Indonesia, yakni tetap kepada perusahaan. Adapun kegiatan advokasi dan penegakan hukum kepada pribadi perlu dilakukan secara simultan, supaya kesadaran penggunaan peranti lunak legal ke pengguna pribadi lebih meningkat.
“Studi ini setidaknya menjadi acuan bagi industri software agar bisa tumbuh dengan baik,” ujar dia.
Menurut Donny, Indonesia bisa mencontoh negara lain agar angka pembajakan bisa menurun. Misalnya, China mempunyai ketentuan yang mewajibkan setiap unit PC yang dijual harus dilengkapi dengan “operating system” (OS) legal. Atau pada 2008, Pemerintah China mengirim surat pada 53.000 kepada `internet service provider` agar mereka tidak menjual `software` ilegal.
Menurut studi IDC, 80 persen kerugian dari pembajakan diderita oleh para pemain lokal dalam industri software, yaitu perusahaan software, industri software, dan distribusi.
Dalam penelitian IDC juga terungkap bahwa jika pembajakan berkurang, yang lebih banyak memperoleh keuntungan justru perusahaan non-software, yaitu IT Services mendapatkan 34% dan distribusi mendapatkan 40%, sedangkan perusahaan dan industri software itu sendiri hanya mendapatkan 26%.
Mengapa harus mahal?
Salah satu penyebab maraknya pembajakan software adalah kondisi lapangan yakni harga sebuah software asli terlalu mahal. Sebut saja program popular seperti Microsoft Office yang dibandrol jutaan rupiah, sementara program bajakan hanya dijual Rp25.000 hingga Rp50.000 di kawasan Mal Mangga Dua.
Begitu juga, software proprietary yang beredar di Indonesia harganya dirasa cukup mahal, seperti Windows (OEM) seharga USD70 dolar AS, Office 2000 seharga 600 dolar, dan belum termasuk software lain di antaranya adalah Norton Utilities seharga 60 dolar, Adobe Photoshop (600 dolar), CorelDraw (300 dolar), AutoCAD (600 dolar), MS Visual Studio pun harganya lebih dari 1.000 dolar AS.
Dibanding harga PC (rakitan) kelas menengah di Indonesia yang rata-rata harganya 200-500 dolar AS per unit, harga software di dalamnya, bila dibeli secara sah, akan jauh di atas harga hardwarenya
Dari sebuah studi, harga software atau DVD film dan CD musik yang mahal, tentunya membuat orang lebih tergiur untuk membajak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Donald Marron dari Charles River Associates dan David Steel dari McKisney yang menemukan bahwa ada korelasi yang kuat antara pendapatan masyarakat suatu negara dengan angka pembajakan.
Secara umum, semakin miskin masyarakat suatu negara, maka semakin besar kemungkinan pembajakan terhadap software terjadi. Akan tetapi, penelitian ini menemukan anomali, artinya tidak berlaku di semua tempat.
Di Qatar dan Kuwait, di mana masyarakatnya telah hidup di atas berkecukupan, akan tetapi angka pembajakannya tetap tinggi. Sedangkan di Afrika Selatan dan India, yang pendapatan penduduknya masih di bawah garis kemiskinan, tidak menunjukkan angka pembajakan yang signifikan.
Hal ini mengingat kecilnya kemungkinan akses masyarakat mereka terhadap komputer. Dari anomali ini juga ditemukan satu faktor pendorong lagi terjadinya privasi, yaitu kebudayaan.
Marron dan Steel manyatakan bahwa pembajakan software di suatu negara merupakan perlawanan unsur kolektivis terhadap dominasi Barat yang cenderung individualis.
Menurut John Gantz and Jack B. Rochester dalam bukunya “Pirates of the digital millenium” yang diterbitkan Financial Times Prentice Hall, ada faktor lain yang menyuburkan adanya pembajakan. Hal ini karena software sebagai media digital merupakan barang yang sangat mudah untuk dicopy (baca: dibajak!) secara sempurna ketimbang barang-barang lainnya.
Selama harga software mahal, selama penegakan hukum tentang hak cipta masih saja lemah, selama ini pula Indonesia akan tetap menjadi surga bagi pembajakan `software`. (Choi)
Sumber : id.yahoo.com